Mendidik itu Membebaskan

Oleh: R. Mustofa
Pengurus Lamdik

Sejatinya saat manusia dilahirkan ke dunia Tuhan menganugerahkan kebebasan. Kebebasan itu adalah fitrah manusia sehingga ia bebas untuk memilih tanpa harus merasa terpaksa atau dipaksa oleh siapapun. Tentunya pilihan tersebut ada konskwensinya dan Tuhan telah menunjukkan secara visual tentang konskwensi pilihan kita. 

Manusia juga dilahirkan dalam keadaan suci karena sifat primordialnya suci maka sesungguhnya ia cenderung pada kebaikan dan kebenaran. Ia dianugerahkan akal untuk berpikir, perasaan, dan nafsu sebagai dorongan. Ketiga unsur tersebut memiliki peran vital dalam kehidupan manusia sehingga ketiganya harus dididik agar tumbuh berkembang menjadi manusia seutuhnya.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membebaskan bukan justru membelenggu apalagi menindas, yaitu “membebankan dan menjajah” kemanusiaan karena sistem dan metode pendidikan yang cenderung kaku dan feodal.Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memberikan otonomi seluas-luasnya bagi siswa. Guru hanya perlu memfasilitasi dan membimbing dalam relasi dialogis bukan relasi feodalis.

Kultur pendidikan yang feodalis dan berbasis kepatuhan hanya akan membentuk individu yang tidak kritis dan tidak otentik. Individu yang tumbuh berkembang dalam kutur pendidikan seperti itu cenderung konformis dan mencari aman. Hasilnya akan melahirkan individu-individu hipokrit dan koruptif.

Kultur Pendidikan yang kaku atau “memaksa” dan tidak dialogis pada dasarnya memiliki filosofi bahwa manusia hanya bisa berkembang melalui pemaksaan dan tekanan. Padahal itu tidak benar karena bertentangan dengan firah manusia yang dinamis sebagai pembelajar yang positif dan unik.

Hubungan siswa dan guru bukan hubungan tuan dengan bawahan sehingga memungkinkan dialog alih-alih perdebatan. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuannya secara bebas bukan transfer dan doktrin. Karena keterampilan berdialog menerima perbedaan dan keunikan adalah keutamaan yang fundamental. 

Siswa bukanlah botol kosong yang harus terus diisi. Mereka adalah manusia yang telah mempunyai potensi sejak lahir. Tugas pendidik mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Seorang pendidik tidak boleh memaksakan gagasan-gagasan atau pengetahunanya kepada peserta didik karena mereka dituntut untuk bisa mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis.

Merujuk survey PISA (Program for International Student Assessment) dan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah bahkan lebih rendah dari Vietnam. Kegagalan ini sesungguhnya adalah “tanggung jawab guru” karena ia ibarat arsitek di sebuah bangunan. Arsitek menentukan arah dan bentuk bangunan sehingga ia adalah orang yang paling mengerti tentang bangunannya. 

Menjadi guru bukan tugas yang mudah dan sepele. Guru tidak hanya dituntut untuk mengajar, tetapi harus mendidik menghasilkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Cerdas artinya ia mampu membaca zaman, berpikir, bersoalisasi, dan berkarya secara optimal. Berkarakter artinya pekerja keras, jujur, peduli, bertanggung jawab dan tangguh.

Menurut Socrates (470-399 SM) tujuan pendidikan yaitu merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi. Untuk menghasilkan manusia yang cerdas dan berkarakter dibutuhkan pendidikan berkualitas. Pendidikan yang mampu mendesain semua anak mencapai tingkat potensi yang paling optimal dan menjadi warga Negara yang utuh dan produktif serta siap memimpin masa depan.

Bagaimana guru di Indonesia? Berbicara guru tentunya kita berbicara masa depan bangsa karena melalui guru anak-anak tumbuh berkembang menjadi individu yang siap dihadapkan pada tantangan dunia. Tantangan dunia yang semakin kompleks membutuhkan kemampuan yang holistik yang tidak hanya bersumber dari pikiran, tetapi membutuhkan keterampilan dan moral agar dapat berpacu seirama dengan pergerakan dunia. 

Seperti yanga dikatakan Aristoteles beberapa abad silam sebelum masehi (367-345 SM) Pendidikan bukan soal akal semata namun soal memberi bimbingan pada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak berdaya, sehingga memerlukan dukungan-dukungan perasaan yang lebih tinggi agar diarahkan secara benar.

Faktanya guru di Indonesia masih disibukkan dengan hal-hal administratif dan teknis sehingga melupakan nilai yang subtantif dalam pendidikan. Kenaikan pangkat berkorelasi dengan materi atau tunjangan bukan dengan perbaikan kualitas sehingga semuanya terasa semu.

Dalam bukunya “Finnish Lessons”, Pasi Sahlberg Profesor Pendidikan ternama di Finlandia mengatakan menjadi guru di Finlandia sama prestisnya dengan insinyur, advokat, dan bahkan dokter sekalipun. Calon mahasiswa yang ingin masuk jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar seleksinya sangat ketat. Artinya menjadi guru tidak semudah di Indonesia dan juga sangat bergengsi. Guru di Finlandia juga memerhatikan kebebasan dan kebahagiaan peserta didik dalam belajar.  Terbukti Finlandia menjadi salah satu negara dengan pendidikan terbaik di dunia. Pembelajaran yang ideal itu terwujud karena guru di Finlandia memiliki kualitas yang baik.

Lalu, bagaimana ingin menjadi guru di Indonesia? Menjadi guru di Indonesia adalah pilihan terakhir karena guru dianggap profesi yang tidak bergengsi. Meskipun dewasa ini ada perbaikan karena adanya tunjungan sertifikasi guru. Sertifikasi guru adalah salah satu strategi untuk menaikkan kualitas guru. Namun faktanya sertifikasi tidak lebih sekadar administrasi untuk mendapatkan tunjungan.

Guru yang tidak cerdas dan tidak berkarakter tidak mungkin menghasilkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Itu rumusnya.

This site is registered on wpml.org as a development site. Switch to a production site key to remove this banner.